1.
Al-quran mengajarkan bahwa kehidupan politik
harus dilandasi dengan empat hal yang pokok yaitu:
1. Sebagai bagian untuk melaksanakan amanat.
2. Sebagai bagian untuk menegakkan hukum dengan adil.
3. Tetap dalam koridor taat kepada Allah, Rasu-Nya, dan ulil amri.
4. Selalu berusaha kembali kepada Al-quran dan Sunnah Nabi SAW.
Islam memberi kontribusi bagaimana seharusnya memilih dan mengangkat seorang yang akan diberi amanah untuk memegang kekuasaan politik. Yaitu orang tersebut haruslah:
1. Seorang yang benar dalam pikiran, ucapan, dan tindakannya serta jujur.
2. Seorang yang dapat dipercaya.
3. Seorang memiliki keterampilan dalam komunikasi.
4. Seorang yang cerdas.
5. Yang paling penting Anda seorang yang dapat menjadi teladan dalam kebaikan.
1. Sebagai bagian untuk melaksanakan amanat.
2. Sebagai bagian untuk menegakkan hukum dengan adil.
3. Tetap dalam koridor taat kepada Allah, Rasu-Nya, dan ulil amri.
4. Selalu berusaha kembali kepada Al-quran dan Sunnah Nabi SAW.
Islam memberi kontribusi bagaimana seharusnya memilih dan mengangkat seorang yang akan diberi amanah untuk memegang kekuasaan politik. Yaitu orang tersebut haruslah:
1. Seorang yang benar dalam pikiran, ucapan, dan tindakannya serta jujur.
2. Seorang yang dapat dipercaya.
3. Seorang memiliki keterampilan dalam komunikasi.
4. Seorang yang cerdas.
5. Yang paling penting Anda seorang yang dapat menjadi teladan dalam kebaikan.
Secara naluriah manusia tidak dapat hidup secara individual. Sifat sosial pada hakikatnya adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan baik. Dalam faktanya manusia memiliki banyak perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya, di samping tentunya sejumlah persamaan. Perbedaan tersebut kalau tidak dikelola dengan baik tentu akan menimbulkan konflik dan perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari kenyataan tersebut perlu dicari sebuah cara untuk dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan. Pendekatan terbaik untuk melakukan tersebut adalah melalui agama. Secara normatif agama Islam lebih khusus Al-quran banyak memberi tuntunan dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan.
2.
Prinsip persatuan dan kesatuan bangsa:
Al-Quran
menggambarkan persatuan dari berbagai sisi. Pertama, Al-Quran
mengisyaratkan bahwa kecenderungan untuk bersatu, merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari eksistensi manusia. Sejak umat pertama tercipta dan
menghuni dunia, saat itu pula keinginan untuk bersatu muncul. Manusia, dengan
tujuan untuk melangsungkan kehidupan serta mengurangi berbagai kesulitan,
saling membantu antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, karena berbagai faktor
terjadilah pertikaian dan peperangan. Kedua, Al-Quran menjelaskan bahwa
salah satu tugas kenabian adalah meluruskan perselisihan yang terjadi di tengah
umat serta mengembalikannya kepada seruan Al-Quran. Ketiga, Quran
menyebutkan tentang dampak dan pengaruh persatuan. Misalnya, dengan persatuan,
umat Islam akan mencapai kemenangan serta kemuliaan. Selain itu, masih banyak
sisi-sisi lainnya yang dijelaskan dalam Al-Quran. Dengan terciptanya persatuan
maka kemenangan dan kemuliaan umat Islam akan tercipta sebagaimana yang
digambarkan dalam Al-Quran. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi kita untuk
tidak melakukan persatuan, sebab ancaman yang akan menghancurkan umat Islam
sudah didepan mata.
Prinsip
tolong-menolong
Diriwayatkan
dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Dunia ini hanya untuk empat
golongan manusia: (satu di antaranya) hamba Allah yang mendapat harta dan ilmu,
lalu ia bertakwa kepada Allah dalam mengelola hartanya tersebut, dan menyambung
silaturahim, dan ia sadar bahwa hartanya itu adalah hak Allah. Itulah kedudukan
yang paling baik (bagi seorang hamba Allah).”
Islam
mengajarkan bahwa harta dan kekayaan mengandung fungsi sosial dan merupakan
sumber kehidupan bagi anggota masyarakat lainnya. Dalam rangka menegakkan
dasar-dasar kehidupan bersama serta mewujudkan tatanan sosial dan ekonomi
berkeadilan, maka sangat diperlukan semangat tolong-menolong di antara seluruh
lapisan masyarakat. Pujangga Islam A Hamid Al Chatib berkata, ”Persaudaraan
dalam Islam takkan berdiri kecuali dengan jalan tolong-menolong.”
Tolong-menolong
yang dimaksud di sini tiada lain dalam konteks kebaikan dan ketakwaan kepada
Tuhan. Sebaliknya, Islam melarang tolong-menolong yang menjurus kepada dosa dan
permusuhan. Guru besar Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Sayid Sabiq, ketika
menjelaskan makna ayat Alquran surat Al-Hujurat ayat 10 ‘Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara’, antara lain menulis, ”Arti persaudaraan di
sini, yang kuat melindungi yang lemah, yang kaya bersedia membantu yang miskin.
Tidak ada arti lain bagi persaudaraan yang dimaksudkan oleh Islam kecuali
dengan kriteria di atas.” (Anashirul Quwwah Fil Islam).
Dalam kaitan
ini Islam menekankan pentingnya perbuatan kedermawanan atau filantropi, yaitu
kewajiban menunaikan zakat, sedekah sunah, infak, wakaf, hibah, hadiah, serta
wasiat. Infak, sedekah, dan zakat saling terkait satu sama lain. Infak secara
umum artinya pengeluaran. Ini adalah konsep besarnya. Infak terbagi dua, yaitu
infak wajib, terdiri atas nafkah keluarga dan zakat, dan infak sunat, yaitu
sedekah.
Dalam surat
Al-Baqarah, kewajiban menafkahkan harta di jalan kebajikan dinyatakan setelah
penegasan kebenaran Alquran, keimanan kepada Allah dalam kegaiban, kewajiban
menegakkan shalat, dan diteruskan, ”wa mimma razaqnaahum yun fiquun (dan
menafkahkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan).” (Al-Baqarah: 3).
Allah SWT
berfirman, ”Dan barang siapa terpelihara dari kekikiran dirinya, maka merekalah
orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyar: 9). Seorang sahabat bertanya kepada
Rasulullah SAW mengenai sedekah yang paling utama, Rasulullah menjawab,
”Sedekah yang paling utama ialah sedekah yang engkau berikan dalam keadaan
sehat dan memerlukan harta, dan ketika engkau khawatir jatuh miskin dan bercita-cita
menjadi kaya.” Wallahu a’lam bis shawab. (M Fuad Nasar)
3. Kata musyawarah berasal dari bahasa
Arab musyawarah yang merupakan bentuk isi mendasar dari kata kerja
syawara, yusyawiru. Quraish Shihab menjelaskan bahwa katatersebut pada
mulanya bermakna dasar mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini
kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil
atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Dalam Al-Quran syawara
dalam segala perubahannya terhitung sebanyak empat kali. Tiga terakhir terkait
dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, seperti dijelaskan dalam surat
Al-Baqoroh ayat 223 dan Surat Al-Imran ayat 159.
Islam memandang
musyawarah salah satu hal yang penting bagi kehidupan sosial, bukandalam
kehidupan bernegara saja tapi di dalam berumah tangga dll. Berkaitan dengan
bangsa, bisa mencari titik terang masalah negara secara musyawarah dah mufakat.
Allah
berfirman: “Dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu, maka
apabila telah bulat hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal.”
Dalam firman itu Allah telah menunjukan betapa pentingnya musyawah untuk umat manusia dalam menyelesaikan segala permasalahan.
Pentingnya masalah musyawarah dalam pandangan Islam sehingga satu di antara 114 surat dalam AlQuran bernama “Assyura” artinya musyawarah. Surat Assyura bersifat Makkiyah artinya Surat ini diturunkan di Mekkah ketika kaum muslimin masih merupakan kelompok minoritas di tengah-tengah kesombongan kaum musyrikin Quraisy yang mayoritas.
Dalam Surat Asyura ayat 38 Allah berfirman:
Dalam firman itu Allah telah menunjukan betapa pentingnya musyawah untuk umat manusia dalam menyelesaikan segala permasalahan.
Pentingnya masalah musyawarah dalam pandangan Islam sehingga satu di antara 114 surat dalam AlQuran bernama “Assyura” artinya musyawarah. Surat Assyura bersifat Makkiyah artinya Surat ini diturunkan di Mekkah ketika kaum muslimin masih merupakan kelompok minoritas di tengah-tengah kesombongan kaum musyrikin Quraisy yang mayoritas.
Dalam Surat Asyura ayat 38 Allah berfirman:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا
لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
“Dan
orang-orang yang memperkenankan perintah Tuhan mereka dan mendirikan shalat dan
segala urusan mereka dan bermusyawarahlah diantara mereka dan mereka
menginfaqkan apa yang telah kami berikan.”
Ayat ini
memberi gambaran bahwa musyawarah pasti timbul dengan adanya jamaah. Setiap
muslim wajib menjunjung tinggi panggilan Tuhannya lalu mengerjakan shalat
bersama-sama. Mengerjakan shalat berjamaah harus selalu diawali dengan
musyawarah, terutama dalam menetapkan imam yang memimpin shalat berjamaah, dan
dengan sabar para jamaah mau menginfaqkan hartanya untuk kemashlahatan.
Hal itu adalah
musyawarah yang dibuat oleh manusia, untuk bermusyawarah dalam system
pemerintahannya dengan dirinya sendiri, sedangkan musyawarah dalam Islam adalah
tukar pendapat antara orang-orang yang mempunyai pemikiran yang cerdas dari
ahlul halli wal aqdi, untuk sampai pada keputusan terbaik dalam
menerapkan hukum Allah atas manusia.Oleh karena itu masyarakat dalam Islam
sangat mulia, karena ia adalah perintah Allah, tidak boleh bagi penguasa
menghapusnya untuk memaksakan kekuasaannya pada manusia:
(Dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu.)
((QS. Ali Imran: 156)
(Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; )
((QS. Asssyuura: 38)
sedangkan dalam Negara yang menggunakan undang-undang buatan manusia, seorang penguasa boleh membekukan konstitusi, dan memberlakukan hukum darurat dengan alasan keamanan, disinilah terjadi sikap otoriter dan kezaliman.
Oleh karena musyawarah dalam Islam bersumber dari Tuhan, maka pemimpin muslim yang bertakwa tidak akan merasa gusar jika mendengar kritikan dari rakyat yang mana saja, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan menjawabnya dengan kebesarah jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab kepada seorang wanita yang membantahnya dalam masalah pembatasan Mahar: "Umar salah dan wanita ini benar"
(Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; )
((QS. Asssyuura: 38)
sedangkan dalam Negara yang menggunakan undang-undang buatan manusia, seorang penguasa boleh membekukan konstitusi, dan memberlakukan hukum darurat dengan alasan keamanan, disinilah terjadi sikap otoriter dan kezaliman.
Oleh karena musyawarah dalam Islam bersumber dari Tuhan, maka pemimpin muslim yang bertakwa tidak akan merasa gusar jika mendengar kritikan dari rakyat yang mana saja, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan menjawabnya dengan kebesarah jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab kepada seorang wanita yang membantahnya dalam masalah pembatasan Mahar: "Umar salah dan wanita ini benar"
No comments:
Post a Comment